Jumat, 28 November 2014

CERDAS EMOSI EQ



Mengenal Kecerdasan Emosi

A.    Kecerdasan
             Istilah kecerdasan biasa dipadankankan dengan kata intelegensia yang mengacu dari bahasa latin yaitu “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.
[1] Kecerdasan (Intelligence) adalah daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau mental terhadap pengalaman-pengalaman baru,  membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk  dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.
[2] Menurut W. Stern, kecerdesan dapat diartikan dengan kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat. Adapun menurut Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelligence yang hidup antara tahun 1857-1911, mendefinisikan  inteligensi sebagai tindakan yang terdiri atas tiga komponen yaitu:
# kemampuan untuk mengarahkan fikiran,
# kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, #kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.
[3] Sementara itu, menurut Stern Berg intelligence (kecerdasan) adalah  kemampuan yang memiliki lima karakeristik umum yaitu:
# kemampuan untuk belajar,
#mengambil manfaat dari pengalaman,
#berfikir secara abstrak, 
#beradaptasi, dan
#memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah secara tepat.
          Dengan demikian, kecerdsasan merupakan suatu kemampuan untuk mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, fikiran, tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara tepat. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, antara lain pembawaan, kematangan, pembentukan, minat, dan kebebasan.[5]
 
    2.      Emosi
            Kata emosi diambil dari bahasa Latin yaitu “movere”  yang berarti “menggerakkan, bergerak”  yang ditambah ditambah awalan  “e”  untuk memberi arti “bergerak menjauh,” yang dimasksudkan untuk memilki pengretian bahwa kecenderungan bertindak  merupakan hal mutlak dalam emosi. Semua emosi, pada dasarnya adalah  dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi  juga sebagai  perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis  dan psikologis serta serangkaian  kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.[6]
Sebenarnya dalam bidang psikologi, masalah emosi merupakan masalah yang belum terpecahkan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pernyataan  yang jelas tentang definisi emosi itu sendiri. Dan para psikolog telah berusaha memberi pengertian emosi namun pernyataan mereka masih terbentur dengan tidak adanya pemisahan secara jelas antara definisi dari perasaan dan emosi sehingga masih ambiguitas.
            Menurut Goleman emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
            Batas perbedaan antara  emosi dan perasaan terletak pada sifat kontak yang terjadi. Dalam perasaan ditemukan kesediaan kontak dengan  situasi (baik positif maupun negatif). Adapun dalam emosi kontak itu seolah-olah menjadi retak atau terputus misalnya pada saat kita sangat terkejut, ketakutan, mengantuk, dan sebagainya.[7] 
          Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates.
        Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).
       Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta).
Sedangkan Goleamann melihat bahwa dalam emosi terdapat:[8]                                          
  a.   Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b.      Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c.       Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,    
         waspada, tidak tenang,     ngeri
d.      Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e.       Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,  
          bakti, hormat, kemesraan, kasih
f.        Terkejut: terkesiap, terkejut
g.       Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h.       Malu: malu hati, kesal
          Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan. Orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

B. Pengertian Kecerdasan Emosi

           Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan  diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.
           Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir,  berempati, dan berdoa.[9] Sedangkan Cooper mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan  daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.[10]
Dengan demikian kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.[11] Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[12]
           Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan  oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian,  kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence. Karyanya ini menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi.
        Hasil risetnya yang menggemparkan  dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki  kurang lebih lima ribu perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki para bintang  kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual, pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[13]

C.  Konsep Kecerdasan Emosi (Daniel Goleman)
            Adalah Wilhem Stern seorang psikolog Jerman mengungkapkan sebuah konsep bahwasannya kecerdsasan seseorang sebenarnya bisa diukur. Dengan mengacu kepada para pakar pendahulunya yaitu Alfred Binnet dan Theodore Simon, Stern mengungkapkan bahwa IQ (intelegent Quotient) seseorang bisa menjadi ukuran kecerdasannya. Sejak saat itu juga kemampuan “matematis” seseorang sering dijadikan suatu standar bahwa seseorang itu cerdas,[14]
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi  munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang  teori tersebut.  Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.[15] Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ)  bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang  paling menentukan dalam kehidupan manusia.
            Menurut Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup,  sementara 80 % lainnya  diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.[16] Ungkapan Goleman ini  seolah menjadi jawaban bagi situasi  ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat,  di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
           Kelebihan  lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan  emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini  telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun  kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.[17]
          Dalam bukunya yang berjudul emotional intellegent,  Danilel Goleaman menerangkan suatu konsep bahwasannya ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah: [18]

a.   Kesadaran Diri
           Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.[19].
Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman  lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.[20]
Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan mengetahui hubungan antara  fikiran, perasaan, dan reaksi.[21] Menurut Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Ciri-ciri orang yang mampu mengukur diri tersebutr antara lain, sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, kemudaian terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif  baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri dan terakhir mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.[22]
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang  ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain.  Oleh sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi mutlak  untuk terus maju. Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad. 
Rasa percaya diri erat kaitannya dengan  “efektivitas diri”,  penilaian positif  tentang kemampuan kerja diri sendiri. Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa yang ia kerjakan dengan menggunakan ketrampilan yang ia miliki.[23] Percaya diri memberi kekuatan untuk membuat keputusan yang sulit atau menjalankan tindakan yang diyakini kebenarannya. Tidak adanya percaya diri dapat menjadikan rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan meningkatnya keraguan pada diri sendiri. Adanya kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi pemahaman diri. Adapun  ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat manusia berada dalam kekuasaan perasaan.
Orang yang memiliki keyakinan yang lebih baik tentang perasaannya adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan. Keputusan masalah pribadi maupun profesi. Kesadaran diri  tidak lain adalah kemampuan untuk mengetahui keadaan internal. Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
1)      Kesadaran emosi,  yaitu tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
2)      Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman orang lain.
3)      Percaya diri  yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.

b.  Pengaturan Diri
          Menurut Goleman pengaturan diri adalah  pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.[24]
c.    Motivasi
         Motivasi merupakan kekuatan mental yang mendorong terbentuknya perilaku yang memiliki tujuan tertentu. Istilah motivasi mengacu pada sebab atau mengapa, suatu organisme yang dimotivasi akan lebih efektif dari pada tidak dimotivasi, Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Motivasi merupakan suatu energi yang dapat menimbulkan tingkat antusiasme dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Menurut Goleman untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Orang yang dalam keadaan flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna  senada dengan  tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun  orang menampilkan  puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal.  Kenikmatan  tindakan itu sendiri yang  memotivasi mereka.[25]
Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow. salah satu cara untuk mencapai flow adalah  dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan  inti flow. Mengamati seseorang yang dalam keadaan flow memberi kesan bahwa yang sulit itu mudah, puncak performa tampak alamiah dan lumrah. Ketika dalam keadaan flow otak berada pada keadaan  “dingin”. Flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ekstase ringan. Ekstase itu tampaknya merupakan  hasil samping dari fokus perhatian yang merupakan hasil prasyarat keadaan flow.
Didalam motivasi ini terdapat beberapa kompenen utama yaitu: pertama, Kebutuhan, hal ini terjadi jika individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang ia miliki dan yang ia harapkan. 
Abraham H. Maslow berpendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
    1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex;
   2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga    
        mental,   
               psikologikal dan intelektual;
          (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
          (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam       
               berbagai simbol-simbol status; dan
          (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Yang kedua dorongan, yaitu kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan yang timbul sebagai hasil dari kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makanan, minuman dan seks. Kondisi seperti ini akan memotivasi pelaku untuk mengulangi kebutuhan tersebut. Misalnya, kekurangan makan mengakibatkan perubahan kimiawi tertentu dalam darah yang pada giirannya menimbulkan suatu dorongan.
           Terakhir adanya tujuan, yaitu hal yang ingin dicapai oleh seorang individu. Tujuan tersebut mengarahkan perilaku, dalam hal ini perilaku belajar. Kekuatan mental atau kekuatan motivasi belajar dapat diperkuat dan dikembangkan. Interaksi kekuatan mental dan pengaruh dari luar ditentukan oleh responden prakarsa pribadi pelaku. Menurut Edwin Locke penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni, tujuan-tujuan mengarahkan perhatian, tujuan-tujuan mengatur upaya, tujuan-tujuan meningkatkan persistensidan tujuan-tujuan yang menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar  jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis. Karena optimisme yang naif membawa malapetaka.[26]
Orang yang optimis memandang kemunduran sebagai akibat  sejumlah faktor yang bisa diubah, bukan kelemahan atau kekurangan pada diri sendiri. Berbeda dengan orang pesimis yang memandang kegagalan sebagai penegasan  atas sejumlah kekurangan fatal dalam diri sendiri yang tidak dapat diubah.

d.   Empati
          Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.[27] Menurut Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu  atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.[28]
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk  membangun hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada pengenalan emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang lain. Seseorang semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil membaca emosi orang. Dengan demikian, empati dapat difahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif orang lain.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan  membaca  emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi  kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.[29] 
Adapun kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan  nonverbal  seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada bicara. Hal ini terbukti dalam  tes terhadap lebih dari  tujuh ribu orang di Amerika Serikat serta delapan belas negara lainnya. Dari hasil tes ini diketahui bahwa orang yang mampu membaca pesan orang lain dari isyarat nonverbal ternyata lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka dibandingkan dengan orang yang tidak mampu membaca isyarat nonverbal.[30]
Namun ada kalanya seseorang tidak memiliki kemampuan  berempati. empati tidak ditemukan kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku tindak kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak mampu berempati, ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat tindakan kejamnya.[31]
Selain itu, empati tidak ditemukan pada penderita eleksitimia (ketidakmampuan mengungkapkan emosi). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan  mereka untuk mengetahui apa yang sedang mereka rasakan. Selain bingung dengan perasaannya sendiri, penderita eleksitimia juga bingung apabila ada orang lain yang mengungkapkan perasaannya kepadanya. Secara emosional, penderita ini tuli nada, tidak bisa mendeteksi kata atau tindakan yang bersifat emosional.
Empati yang berlebihan dapat mendatangkan stres, kondisi ini disebut “empathy distruss”, stres akibat empati. Menurut Daniel Goleman, stres akibat empati ini sangat lazim terjadi  bila seseorang merasakan kesusahan yang  mendalam, karena seseorang sangat empatik berhadapan dengan seseorang yang sedang dalam suasana hati negatif, dan kemampuan pengaturan dirinya tidak mampu  untuk menenangkan stres akibat simpati mereka sendiri. Untuk menghindari stres ini, diperlukan suatu seni mengelola emosi, sehingga manusia tidak terbebani oleh rasa tertekan yang menular dari orang yang sedang  dihadapi.[32] 
Menurut Goleman,  ada lima kemampuan empati, yaitu, pertama, memahami orang lain dengan cara mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta mewujudkan minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka. Kedua,mengembangkan orang lain yaitu, mengindera kebutuhan orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Ketiga, memilki orientasi pelayanan  yaitu mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Keempat, memanfaatkan keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang. Terakhir memliki kesadaran politik  yaitu mampu membaca kecenderungan sosial dan politik yang sedang berkembang.

e.   Ketrampilan Sosial
          Ketrampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua ketrampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati.
Dengan kedua lanadasan tersebut, ketrampilan berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya ketrampilan-ketrampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya encer pun gagal dalam membina hubungannya.[33] Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia menularkan emosinya kepada orang lain atau sebaliknya semakin trampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan sinyal yang dikirimkan.
Kesadaran sosial juga didasarkan pada kemampuan perasaan sendiri, sehingga mampu menyetarakan dirinya terhadap bagaimana orang lain beraksi. Menurut Goleman, apabila kemampuan antar  pribadi ini tidak diimbangi dengan kepekaan perasaan terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri serta bagaimana cara memenuhinya, maka ia akan termasuk dalam golongan bunglon-bunglon sosial yang tidak peduli sama sekali bila harus berkata ini dan berbuat itu.
            Pada dasarnya Manusia memiliki tiga kecerdasan yakni :kecerdasan intelektual atu yang di sebut IQ yang merupakan kecerdasan yang di peroleh dari ilmu pengetahuan umum yang di peroleh dari lingkungan atau melalui bangku sekolah,kecerdasan ini dapat di ukur dari nilai akademik,hasilnya mampu membuat rencana dan aturan yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,tetapi tidak secara otomatis mampu membangun sikap dan perilaku yang konsisten dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari,kecerdasan intelektual mampu dalam mengelola konsep dan teori tetapi kurang mampu dalam memgelolah sikap dan perilaku yang terpuji. sehingga kadang menciptakan perilaku tercela dan tidak terpuji

   sikap yang tidak konsisten dan tidak disiplin dan kadang cenderung bersikap arogan adalah masalah perilaku individual yang dipengaruhi oleh kondisi mental individu bersangkutan.sedangkan kondisi mental di pengaruhi oleh kondisi yang ada dalam diri manusia berupa kecerdasan intelektual.

   Sementara kecerdasan kecerdasan emosional mampu mengelolah ,mengendalikan ,menetralisir potensi emosi dalam hati manusia,sehingga sisi positifnya selalu ada di permukaan dan sisi negatifnya selalu terkendali dan dinetralisir ,kehebatan dari pada kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Dr.Golmen seorang pakar di bidang psikologi ,setelah melakukan penelitian yang cukup lama dalam bukunya yang berjudul"EMOTIONAL INTELELLIGENCE" Menyimpulkan bahwa "untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis dan kepemimpinan  kontribusi kecerdasan emosional atau disebut EQ Adalah 80 persen sementara kontribusi kecerdasan intelektual atau di sebut juga IQ hanya 20 persen saja.

Untuk membangun kecerdasan emosional yang ideal dibutuhkan adalah dukungan dari kecerdasan SPIRITUAL yang dapat melahirkan energi Ilahiyah dalam hati manusia agar kekuatan emosi dalam hati manusia dapat bersenyawa dengan nilai-nilai spiritual sehingga mampu melahirkan kekuatan moral yang bersumber dari hati nurani